Minggu, 30 Maret 2014

JAKARTA

            
KEMACETAN DI JAKARTA

Kemacetan di daerah ibu kota telah menjadi penyakit kronis sejak awal tahun 1990-an, dengan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan. Berbagai solusi ditawarkan, namun tidak satupun berjalan efektif untuk mengatasinya, karena solusi yang ditawarkan (misal: jalur 3-in-1, jalur khusus bus, perbaikan jalan, dan pembangunan jalan tol) cenderung terpilah-pilah (parsial), tidak sistematis, dan tidak kontinu.
Departemen Pekerjaan Umum (PU) sebagai pembina urusan jalan merupakan salah satu pihak yang menjadi sasaran complain masyarakat yang bertubi-tubi tentang persoalan kemacetan tersebut. Fakta ini dapat dipahami mengingat saat ini 90% angkutan penumpang maupun barang bertumpu pada jaringan jalan yang ada.Tidak dapat dipungkiri bahwa jalan sejauh ini merupakan harapan terbesar masyarakat ibukota, daerah sekitarnya, bahkan nasional, untuk mendukung kegiatan sosial ekonominya.
Dengan pembebanan yang ada tersebut, jalan merupakan ground transport infrastructure yang sangat vitaldalam mewujudkan sasaran pembangunan nasional, yakni untuk :
1. Mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan target yang telah ditetapkan antara 6 hingga 8%per tahun.
2. Mempercepat terjadinya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta pengentasan kemiskinan bagi tidak kurang dari 36 juta jiwa yang hidup dengan penghasilan di bawah US $ 2per hari.
3. Menciptakan lapangan kerja langsung (buruh, supplier material, sektor informal, dan sebagainya) dan tidak langsung (pedagang pasar, penambang galian C, pengusaha restoran, pengusaha BBM, dll).
4. Memperkuat kesatuan dan persatuan nasional.
            Namun, permasalahan kemacetan sangatlah kompleks. Kajian singkat ini berupaya untuk menyajikan anatomi kemacetan ditinjau dari faktor-faktor penyebab, dampak yang ditimbulkan, konsep-konsep untuk mengatasi kemacetan, serta peran yang dapat dimainkan oleh Departemen Pekerjaan Umum sebagai kontribusi untuk mengatasi kemacetan.
Penyebab Kemacetan
Kemacetan dicirikan, secara teoritik, oleh arus yang tidak stabil, kecepatan tempuh kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang panjang, yang biasanya terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau pada persimpangan lalu-lintas di pusat-pusat perkotaan.
Kemacetan yang parah sebagaimana terjadi di Jakarta dapat ditinjau dari 2 (dua) sisi, yakni sisi supply (penyediaan) dan sisi demand (kebutuhan). Anatomi kemacetan diperlihatkan secara skematik pada Gambar 1 berikut : 

Sebagian dari faktor-faktor penyebab tersebut(box warna kuning) berada dalam lingkup tugas, tanggung jawab, dan kompetensi Departemen Pekerjaan Umum, yang meliputi:
Peningkatan laju pertambahan jalan (termasuk jalan tol) di Jabodetabek adalah 1% per tahun, tidak sebanding dengan laju pertambahan kendaraan yang mencapai 11% per tahun. Volume yang tidak sebanding antara jumlah kendaraan dan panjang jalan menyebabkan kemacetan yang parah pada jam-jam puncak;
1. Upaya peningkatan kapasitas jalan (khususnya jalan tol dan simpang susun) terkendala oleh proses pembebasan lahan yang berjalan lambat dan keterbatasan dana yang tersedia. Terlebih bahwa Dep. PU harus menutup setiap tahunnya biaya eksternalitas dari kerusakan jalan yang disebabkan oleh pembebanan berlebihan (overloading); dan
2. Kualitas rencana tata ruang yang belum memadai dan pengendalian pemanfaatan ruang yang lemah (ketidakmampuan menghadang kekuatan pasar) menyebabkan instrumen penataan ruang menjadi tidak efektif. Fakta menunjukkan bahwa penataan ruang tidak mampu mengendalikan penumpukan > 60% kegiatan ekonomi nasional di Jabodetabek (pusat kegiatan industri, komersial, pemerintahan, dan jasa keuangan).
Penurunan kondisi jalan dalam banyak hal juga menjadi salah satu penyebab kemacetan yang merupakan dampak dari:
1. Kemampuan pemeliharaan dan rehabilitasi jalan yang terbatas.
2. Laju perbaikan jalan yang berjalan lebih lambat dari laju kerusakan jalan
3. Pertambahan volume lalu-lintas maupun intensitas beban yang terus meningkat termasuk overloading yang tidak terkendali.
4. Kualitas hasil penanganan jalan masih belum sesuai dengan rencana/spesifikasi.
            Perlintasan sebidang menambah kemacetan pada kawasan Jabodetabek. Berdasarkan identifikasi, pada saat ini terdapat 46 kawasan di kawasan ini dengan total 100 titik simpang rawan macet di Jakarta, dimana 8 (delapan) kawasan di antaranya memiliki lebih dari 4 (empat) titik simpang rawan (Kawasan Ancol/Gunung Sahari, Jatibaru/Tanah Abang, Kalimalang, Mampang/Buncit, Pasar Minggu, Pondok Indah, Pulo Gadung, dan Tambora). Tingkat keparahan pada 8 (delapan) kawasan ini dua kali lipat lebih tinggi dari kawasan-kawasan lainnya. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pembangunan beberapa jalur busway di wilayah ibukota telah meningkatkan 30-40 % dari jumlah titik simpang rawan macet tersebut.
            Pada musim hujan, faktor genangan dan banjir menambah tingkat keparahan dari kemacetan. Fakta menunjukkan bahwa kapasitas saluran/kanal yang terbatas tidak mampu menampung curah hujan dengan intensitas yang rendah sekalipun. Apabila ditambah dengan kemampuan mengelola sampah dari Pemerintah Kota yang belum optimal dan budaya masyarakat yang buruk dalam membuang sampah, maka dampak langsung dari luapan air adalah pada badan jalan yang kemudian memicu kemacetan.
            Tidak tersedianya moda alternatif mengakibatkan seluruh beban sirkulasi ada pada prasarana jalan, sementara rendahnya ketersediaan angkutan umum menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kendaraaan pribadi. Keberadaan angkutan umum (public transport) di Jabodetabek belum mampu memenuhi kebutuhan pergerakan orang di Jabodetabek. Data menunjukkan bahwa 7 juta orang melakukan pergerakan lalu lintas per hari di Jabodetabek, dimana 3,08 juta di antaranya menggunakan kendaraan pribadi dan sisanya menggunakan moda angkutan umum. Sebagai gambaran, busway yang banyak diandalkan oleh Pemerintah DKI Jakarta sejauh ini hanya mampu mengangkut 210.000 orang/hari atau sekitar 6% saja dari total orang yang melakukan pergerakan tersebut.
            Akhirnya, ketidakpatuhan pengguna jalan dan kelemahan penegakan hukum(traffic management) seperti maraknya pasar tumpah/kaki lima, pemanfaatan badan jalan menjadi lahan parkir dan terminal angkutan umum merupakan faktor-faktor yang menambah panjang list penyebab kemacetan di Jakarta.
Dampak Yang Ditimbulkan Akibat Kemacetan
1.     Secara ekonomi, kemacetan menyebabkan peningkatan waktu tempuh (inefisiensi waktu), biaya transportasi secara signifikan, gangguan yang serius bagi pengangkutan produk-produk ekspor-impor (logistik secara umum), penurunan tingkat produktivitas kerja, dan pemanfaatan energi yang sia-sia.
2.      Selain itu, kemacetan pun memberikan dampak yang serius bagi penurunan kualitas lingkungan perkotaan (khususnya tingkat kebisingan dan polusi udara) dan penurunan tingkat kesehatan (misal: pemicu lahirnya berbagai penyakit pernapasan, tekanan psikologis/stress, dsb).
3.      Dalam konteks perubahan iklim (climate change) yang kini tengah menjadi hot topic bagi masyarakat dunia, kemacetan lalu lintas di kota-kota utama dunia telah menjadi salah satu kontributor utama dalam emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfir yang menyebabkan peningkatan temperatur bumi yang signifikan sejak kota-kota tersebut tumbuh pesat.
4.      Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bappenas tahun 2006 menunjukkan bahwa kemacetan di Jakarta menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 7 Trilyun/tahun yang dihitung untuk 2 (dua) sektor saja, yakni energi (Rp. 5,57 T/tahun) dan kesehatan (Rp. 1,7 T/tahun). Sementara Yayasan Pelangi memperkirakan kerugian bisa membengkak hingga Rp. 43 Trilyun per tahun akibat menurunnya produktivitas kerja, pemborosan BBM dan pencemaran udara.
Beberapa Konsep Untuk Mengatasi Kemacetan
            Dalam dunia akademik, dikenal prinsip-prinsip untuk mengatasi kemacetan yang banyak didiskusikan/diperdebatkan oleh para ahli, yang salah satunya adalah prinsip transit oriented development (TOD). TOD dapat dikategorikan sebagai salah satu konsep urban planning, seperti Intelligent Urbanismatau Smart Growth, yang menekankan pentingnya untuk mengembangkan kota yang efisien dalam pemanfaatan lahan.
            Konsep TOD sendiri menekankan pentingnya kedekatan antara sarana transportasi (stasiun dan terminal) dengan kegiatan perkotaan campuran (jasa komersial/retail, residensial dan perkantoran) dengan densitas tinggi (compact). Radius pelayanan perkotaan 0,4  0,8 km dari stasiun/terminal yang memungkinkan terjadinya sirkulasi pedestrian dan sepeda. Penggunaan transportasi publik lebih diutamakan didalam kotadenganmenyediakan sarana-sarana perhentian sementara (transit).
            Menarik untuk disimak kutipan berikut: Traffic congestion has increased so much in virtually every metropolitan area that two-hour commutes now are routine. Attempts to alleviate the problem of constructing more highways almost have led to more sprawl and, eventually, more congestion.(Jim Miara, kolumnis untuk majalah Urban Land).
            Sementara itu, Transit Oriented Development (TOD) as an approach to combat traffic congestion and protect environment has caught on all across the country. The trick for real estate developers has always been identifying the hot transportation system. Today, highways are out, urban transit system are in. (The Urban Land Institute). Pertanyaan yang muncul adalah : bagaimana dengan kita? Tampaknya kita perlu mereformulasi secara fundamental kxebijakan dan strategi pembangunan transportasi yang selama ini terlalu bersifat sektoral.
            Salah satu alternatif kebijakan yang mungkin perlu dipikirkan untuk mengatasi (sebagian) kemacetan di Jakarta (walaupun kebijakan ini tetap saja masih sangat bersifat parsial, tidak komprehensif) adalah penerapan congestion charge, seperti pengalaman Kota London dalam mengatasi kemacetan di pusat kota. Otoritas setempat menetapkan charge pada London congestion zones sebesar 5 poundsterling per hari mulai pukul 7.00 pagi hingga pukul 18.30 malam dari hari Senin  Jumat pada area seluas 21 km2. Pengecualian diberikan untuk sarana transportasi umum (bus), taksi resmi (registered taxi) dan ambulans (emergency vehicles). Discount diberikan bagi mobil-mobil warga Kota London yang berlangganan. Bilamana pengendara kendaraan bermotor tidak membayar charge tersebut, maka denda yang berlaku adalah 120 poundsterling.
            Bagaimana pun, congestion charge, sebagaimana layaknya sebuah kebijakan publik yang tidak populer, mendapatkan tentangan keras dari politisi dan Londoners (khususnya para retailers, shoppers, dll) yang merasakan penurunan angka penjualan secara signifikan yang diperkirakan sebesar 100 juta poundsterling/tahun kibat penurunan jumlah orang dan mobil ke pusat Kota London. Selain itu juga bahwa masyarakat London trauma dengan keselamatan transportasi publik, pasca bom London 2005. Konsistensi otoritas Kota London dalam menghadapi berbagai kritik dan resistensi terhadap kebijakan adalah kunci dalam penerapan kebijakan ini.
Penguatan Peran Departemen Pekerjaan Umum
Untuk mengatasi kemacetan di kawasan Jabodetabek, peran Departemen Pekerjaan Umum perlu diperkuat melalui upaya-upaya jangka pendek dan jangka panjang sebagai berikut :
Untuk Jangka Pendek, maka upaya Departemen PU adalah melalui
1. perbaikan manajemen konstruksi berskala besar (jalan tol, busway, saluran/kanal, sarana komersial/perkantoran, dsb) yang disertai dengan pengawasanyang ketat dalam rangka mengurangi hambatan-hambatan sirkulasi;
2. percepatan realisasi jalan tol pada ruas-ruas strategis, termasuk ruas alternatif yang mengarah ke Bandara Sukarno-Hatta dan ke Pelabuhan Laut Tanjung Priok;
3. merealisasikan pembangunan simpang-susun di beberapa titik rawan kemacetan, dengan memperhatikan pula dampak kemacetan sementara yang bakal ditimbulkan. Untuk itu, pembangunan dilakukan secara bertahap dan terdistribusi di beberapa titik;
4. mengurangi dampak genangan pada badan jalan (misal melalui pembersihan saluran-saluran yang mampat dari sampah, peningkatan kapasitas sungai, dsb.);
5. merealisasikan secara konsisten konsep pengembangan hunian vertikal seperti Rumah Susun; dan
6. melaksanakan koordinasi intensif dengan sektor/instansi yang menangani persoalan traffic management dan penegakan hukum dalam rangka mengembalikan fungsi dan kapasitas badan jalan sebagaimana yang seharusnya (misal : melalui penertiban kaki lima, angkutan umum, pasar tumpah, dsb).
            Perencanaan terpadu dalam penyediaan prasarana transportasi multi-moda menjadi kebutuhan mutlak, dimana implementasinya lebih penting dibandingkan sekedar rencana yang komprehensif dan sophisticated. Pembagian peran (role-sharing) dan beban (load-sharing) antar-moda (misal antara jalan raya dan jalan KA khususnya untuk angkutan barang/heavy loaded vehicle) harus diciptakan, agar prasarana jalan tidak menanggung eksternalitas akibat kemacetan yang luar biasa.
            Untuk itu, Departemen PU perlu pula mendorong mitra kerjanya, khususnya Departemen Perhubungan, untuk menuntaskan Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS) dan turunan kebijakan transportasi lainnya. Tanpa Sistranas dan kebijakan transportasi terpadu yang diharapkan tersebut, pembangunan sektor transportasi terpadu di Kawasan Jabodetabek akan sulit tercapai, dan dengan demikian masalah kemacetan lalu lintas yang parah di kawasan ini tidak akan pernah pula dapat diatasi secara tuntas. Penanganan transportasi di Jakarta sebagaimana konsep yang telah dipresentasikan oleh Menteri Perhubungan di depan Wakil Presiden RI pada tanggal 30 Mei 2008 yang lalu hanyalah merupakan bagian dari solusi permanen, menyeluruh dan bersifat jangka panjang dalam mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya.
            Untuk Jangka Menengah dan Panjang, konsep megapolitan yang pernah dikemukakan oleh Gubernur Sutiyoso layak untuk dikaji kembali secara lebih serius. Dalam bingkai megapolitan ini, maka persoalan kemacetan dapat dikaitkan pula denganpersoalan banjir/genangan, karenakeduanyasaling berkaitan. Dep. PU perlu memikirkan dampak dari pembangunan jalan tol terhadap peningkatan intensitas banjir di kawasan Jabodetabek, dan sebaliknya, dampak dari banjir/genangan terhadap peningkatan kemacetan dan penurunan kualitas jalan.
            Kemacetan adalah ekses dari visi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk mewujudkan Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional bahkan internasional, karena yang terjadi saat ini adalah pemusatan kegiatan sosial-ekonomi dan politik yang terlalu berlebihan, melebihi daya dukung lingkungan dan daya tampung ruang wilayah. Wacana untuk mengalihkan (mendesentralisasikan) sebagian kegiatan sosial-ekonomi nasional ke luar Jabodetabek layak untuk dihidupkan kembali, sehingga blok-blok ekonomi tidak terpusat di kawasan ini saja
            Butir di atas disebut pengalihan beban spasial yang memiliki implikasi besar secara makro-nasional. Mulai saat ini Pemerintah bersama DPR perlu memikirkan pengurangan beban Jakarta dan sekitarnya melalui desentralisasi kegiatan (bukan hanya desentralisasi kewenangan dan sumberdaya yang saat ini terjadi). Pengalaman Perancis pasca Perang Dunia II dengan program mtropole dquilibre yang diikat dengan jaringan kereta api berkecepatan tinggi dan jaringan jalan bebas hambatan, serta pengalaman Malaysia dengan pengalihan pusat pemerintahan ke Putrajaya pada tahun 1980an akhir merupakan best practices yang layak dipelajari.
            Tidak ada solusi lain selain bahwa instrumen penataan ruang harus digunakan sebagai pendekatan perencanaan pembangunan dalam penataan kembali kawasan megapolitan Jabodetabek ke depan, termasuk dalam upaya serius mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya ini. Instrumen ini harus memiliki perspektif jangka panjang, yang memikirkan bagaimana penanganan yang diusulkan dapat bersifat terpadu dan sustainable. Lahirnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang sangat mengedepankan peran penataan ruang sebagai acuan pembangunan, harus dijadikan momentum penting oleh Departemen PU untuk lebih mengedepankan peran penataan ruang.
Rencana tata ruang kawasan metropolitan Jabodetabek yang berkualitas tinggi, namun membumi dan dapat dioperasionalisasikan, yang mampu menjawab tantangan dan permasalahan nyata di lapangan, bukan rencana tata ruang yang disusun secara business as usual, sebagaimana yang selama ini banyak dikeluhkan berbagai pihak, merupakan kata kunci yang tidak bisa ditawar lagi jika Departemen PU memang ingin memperkuat perannyadalam turut mengatasi kemacetan lalu lintas Jakarta dan sekitarnya. Dalam konteks ini, maka penataan ruang perlu memberikan perhatian yang besar, di antaranya bagi:
1. keterpaduan multi-moda yang lebih mendorong pemanfaatan transportasi publik secara luas bagi warga Jabodetabek;
2. pengembangan budaya bermukim pada rumah susun (hunian vertikal) yang lebih hemat lahan; dan
3. pembatasan pembangunan prasarana dan sarana sosial-ekonomi berskala besar yang tumbuh pesat dan mempengaruhi struktur ruang kota (misal : pusat perbelanjaan/perdagangan/plaza/shopping malls, dsb yang sesungguhnya bukan merupakan kultur masyarakat Indonesia). Fenomena urban mushroom yang membangkitkan banyak kemacetan baru, apabila diteruskan menjadi sangat berbahaya bagi keberlanjutan kota ke depan. Pertanyaan yang muncul adalah mungkinkah instrumen penataan ruang bisa menghambat laju kapitalisme?
Solusi Mengatasi Kemacetan
            Tidak ada solusi jitu dalam jangka pendek untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Pemerintah sebaiknya tidak mengeluarkan kebijakan yang hanya berfungsi sebagai parasetamol untuk mengurangi kemacetan yang sifatnya semu dan sementara. Masalah kemacetan di Jakarta dan sekitarnya bukan hanya masalah transportasi semata. Alternatif solusi mengatasi permasalahan transportasi di DKI Jakarta sebagaimana yang ditawarkan oleh Menteri Perhubungan (antara lain dengan mengembangkan transportasi multi-moda, MRT System, KA Bandara Soekarno-Hatta, pengembangan Intelligent Transport System (ITS), perubahan struktur pajak kendaraan bermotor, perbaikan manajemen transportasi, dan sebagainya) hanyalah bagian dari penanganan masalah kemacetan Jakarta yang sangat kompleks dan berdimensi banyak.
            Upaya penanganan kemacetan di Jakarta dan sekitarnya harus bersifat menyeluruh, berdimensi jangka panjang dan bersifat sustainable. Ramalan para ahli transportasi mengenai total gridlock dalam 7 tahun ke depan, tepatnya pada tahun 2014, harus menjadi warning bagi pemerintah (Pusat dan Daerah). Oleh karenanya perlu diupayakan agar langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas ditempatkan dalam prioritas Departemen PU serta memperoleh dukungan politik dan finansial yang memadai dari Pemerintah dan DPR.
            Melihat kompleksitas permasalahannya, tidak ada kata yang lebih tepat selain koordinasi yang lebih baik dan intensif di lingkungan internal Departemen PU antara Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Jenderal Cipta Karya, dan Direktorat Jenderal Sumberdaya Air dalam meninjau kembali dan merumuskan ulang Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan (Megapolitan?) Jabodetabek ini dengan antara lain menambahkan, memperkuat, dan memberikan penekanan pada beberapa aspek sebagaimana disebutkan di atas. Perencanaan tata ruang Kawasan Metropolitan Jabodetabek tidak cukup hanya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang semata.
            Di samping itu, koordinasi yang lebih baik dan intensif dengan mitra kerja strategis dalam mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya ini, seperti Departemen Perhubungan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta Pemerintah Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabek, juga sangat diperlukan.
            Pengalaman pada kawasan Jabodetabek seyogyanya menjadi pelajaran yang berharga (lessons learned) bagi kawasan metropolitan lain di tanah air, seperti Bandung, Medan, Surabaya, Makassar, dan Denpasar, yang tampaknya dalam beberapa waktu terakhir mulai bergulat dengan persoalan yang sama, yaitu KEMACETAN.

Referensi : http://www.pu.go.id/isustrategis/view/24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar