Minggu, 30 Maret 2014

JAKARTA

            
KEMACETAN DI JAKARTA

Kemacetan di daerah ibu kota telah menjadi penyakit kronis sejak awal tahun 1990-an, dengan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan. Berbagai solusi ditawarkan, namun tidak satupun berjalan efektif untuk mengatasinya, karena solusi yang ditawarkan (misal: jalur 3-in-1, jalur khusus bus, perbaikan jalan, dan pembangunan jalan tol) cenderung terpilah-pilah (parsial), tidak sistematis, dan tidak kontinu.
Departemen Pekerjaan Umum (PU) sebagai pembina urusan jalan merupakan salah satu pihak yang menjadi sasaran complain masyarakat yang bertubi-tubi tentang persoalan kemacetan tersebut. Fakta ini dapat dipahami mengingat saat ini 90% angkutan penumpang maupun barang bertumpu pada jaringan jalan yang ada.Tidak dapat dipungkiri bahwa jalan sejauh ini merupakan harapan terbesar masyarakat ibukota, daerah sekitarnya, bahkan nasional, untuk mendukung kegiatan sosial ekonominya.
Dengan pembebanan yang ada tersebut, jalan merupakan ground transport infrastructure yang sangat vitaldalam mewujudkan sasaran pembangunan nasional, yakni untuk :
1. Mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan target yang telah ditetapkan antara 6 hingga 8%per tahun.
2. Mempercepat terjadinya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta pengentasan kemiskinan bagi tidak kurang dari 36 juta jiwa yang hidup dengan penghasilan di bawah US $ 2per hari.
3. Menciptakan lapangan kerja langsung (buruh, supplier material, sektor informal, dan sebagainya) dan tidak langsung (pedagang pasar, penambang galian C, pengusaha restoran, pengusaha BBM, dll).
4. Memperkuat kesatuan dan persatuan nasional.
            Namun, permasalahan kemacetan sangatlah kompleks. Kajian singkat ini berupaya untuk menyajikan anatomi kemacetan ditinjau dari faktor-faktor penyebab, dampak yang ditimbulkan, konsep-konsep untuk mengatasi kemacetan, serta peran yang dapat dimainkan oleh Departemen Pekerjaan Umum sebagai kontribusi untuk mengatasi kemacetan.
Penyebab Kemacetan
Kemacetan dicirikan, secara teoritik, oleh arus yang tidak stabil, kecepatan tempuh kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang panjang, yang biasanya terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau pada persimpangan lalu-lintas di pusat-pusat perkotaan.
Kemacetan yang parah sebagaimana terjadi di Jakarta dapat ditinjau dari 2 (dua) sisi, yakni sisi supply (penyediaan) dan sisi demand (kebutuhan). Anatomi kemacetan diperlihatkan secara skematik pada Gambar 1 berikut : 

Sebagian dari faktor-faktor penyebab tersebut(box warna kuning) berada dalam lingkup tugas, tanggung jawab, dan kompetensi Departemen Pekerjaan Umum, yang meliputi:
Peningkatan laju pertambahan jalan (termasuk jalan tol) di Jabodetabek adalah 1% per tahun, tidak sebanding dengan laju pertambahan kendaraan yang mencapai 11% per tahun. Volume yang tidak sebanding antara jumlah kendaraan dan panjang jalan menyebabkan kemacetan yang parah pada jam-jam puncak;
1. Upaya peningkatan kapasitas jalan (khususnya jalan tol dan simpang susun) terkendala oleh proses pembebasan lahan yang berjalan lambat dan keterbatasan dana yang tersedia. Terlebih bahwa Dep. PU harus menutup setiap tahunnya biaya eksternalitas dari kerusakan jalan yang disebabkan oleh pembebanan berlebihan (overloading); dan
2. Kualitas rencana tata ruang yang belum memadai dan pengendalian pemanfaatan ruang yang lemah (ketidakmampuan menghadang kekuatan pasar) menyebabkan instrumen penataan ruang menjadi tidak efektif. Fakta menunjukkan bahwa penataan ruang tidak mampu mengendalikan penumpukan > 60% kegiatan ekonomi nasional di Jabodetabek (pusat kegiatan industri, komersial, pemerintahan, dan jasa keuangan).
Penurunan kondisi jalan dalam banyak hal juga menjadi salah satu penyebab kemacetan yang merupakan dampak dari:
1. Kemampuan pemeliharaan dan rehabilitasi jalan yang terbatas.
2. Laju perbaikan jalan yang berjalan lebih lambat dari laju kerusakan jalan
3. Pertambahan volume lalu-lintas maupun intensitas beban yang terus meningkat termasuk overloading yang tidak terkendali.
4. Kualitas hasil penanganan jalan masih belum sesuai dengan rencana/spesifikasi.
            Perlintasan sebidang menambah kemacetan pada kawasan Jabodetabek. Berdasarkan identifikasi, pada saat ini terdapat 46 kawasan di kawasan ini dengan total 100 titik simpang rawan macet di Jakarta, dimana 8 (delapan) kawasan di antaranya memiliki lebih dari 4 (empat) titik simpang rawan (Kawasan Ancol/Gunung Sahari, Jatibaru/Tanah Abang, Kalimalang, Mampang/Buncit, Pasar Minggu, Pondok Indah, Pulo Gadung, dan Tambora). Tingkat keparahan pada 8 (delapan) kawasan ini dua kali lipat lebih tinggi dari kawasan-kawasan lainnya. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pembangunan beberapa jalur busway di wilayah ibukota telah meningkatkan 30-40 % dari jumlah titik simpang rawan macet tersebut.
            Pada musim hujan, faktor genangan dan banjir menambah tingkat keparahan dari kemacetan. Fakta menunjukkan bahwa kapasitas saluran/kanal yang terbatas tidak mampu menampung curah hujan dengan intensitas yang rendah sekalipun. Apabila ditambah dengan kemampuan mengelola sampah dari Pemerintah Kota yang belum optimal dan budaya masyarakat yang buruk dalam membuang sampah, maka dampak langsung dari luapan air adalah pada badan jalan yang kemudian memicu kemacetan.
            Tidak tersedianya moda alternatif mengakibatkan seluruh beban sirkulasi ada pada prasarana jalan, sementara rendahnya ketersediaan angkutan umum menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kendaraaan pribadi. Keberadaan angkutan umum (public transport) di Jabodetabek belum mampu memenuhi kebutuhan pergerakan orang di Jabodetabek. Data menunjukkan bahwa 7 juta orang melakukan pergerakan lalu lintas per hari di Jabodetabek, dimana 3,08 juta di antaranya menggunakan kendaraan pribadi dan sisanya menggunakan moda angkutan umum. Sebagai gambaran, busway yang banyak diandalkan oleh Pemerintah DKI Jakarta sejauh ini hanya mampu mengangkut 210.000 orang/hari atau sekitar 6% saja dari total orang yang melakukan pergerakan tersebut.
            Akhirnya, ketidakpatuhan pengguna jalan dan kelemahan penegakan hukum(traffic management) seperti maraknya pasar tumpah/kaki lima, pemanfaatan badan jalan menjadi lahan parkir dan terminal angkutan umum merupakan faktor-faktor yang menambah panjang list penyebab kemacetan di Jakarta.
Dampak Yang Ditimbulkan Akibat Kemacetan
1.     Secara ekonomi, kemacetan menyebabkan peningkatan waktu tempuh (inefisiensi waktu), biaya transportasi secara signifikan, gangguan yang serius bagi pengangkutan produk-produk ekspor-impor (logistik secara umum), penurunan tingkat produktivitas kerja, dan pemanfaatan energi yang sia-sia.
2.      Selain itu, kemacetan pun memberikan dampak yang serius bagi penurunan kualitas lingkungan perkotaan (khususnya tingkat kebisingan dan polusi udara) dan penurunan tingkat kesehatan (misal: pemicu lahirnya berbagai penyakit pernapasan, tekanan psikologis/stress, dsb).
3.      Dalam konteks perubahan iklim (climate change) yang kini tengah menjadi hot topic bagi masyarakat dunia, kemacetan lalu lintas di kota-kota utama dunia telah menjadi salah satu kontributor utama dalam emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfir yang menyebabkan peningkatan temperatur bumi yang signifikan sejak kota-kota tersebut tumbuh pesat.
4.      Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bappenas tahun 2006 menunjukkan bahwa kemacetan di Jakarta menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 7 Trilyun/tahun yang dihitung untuk 2 (dua) sektor saja, yakni energi (Rp. 5,57 T/tahun) dan kesehatan (Rp. 1,7 T/tahun). Sementara Yayasan Pelangi memperkirakan kerugian bisa membengkak hingga Rp. 43 Trilyun per tahun akibat menurunnya produktivitas kerja, pemborosan BBM dan pencemaran udara.
Beberapa Konsep Untuk Mengatasi Kemacetan
            Dalam dunia akademik, dikenal prinsip-prinsip untuk mengatasi kemacetan yang banyak didiskusikan/diperdebatkan oleh para ahli, yang salah satunya adalah prinsip transit oriented development (TOD). TOD dapat dikategorikan sebagai salah satu konsep urban planning, seperti Intelligent Urbanismatau Smart Growth, yang menekankan pentingnya untuk mengembangkan kota yang efisien dalam pemanfaatan lahan.
            Konsep TOD sendiri menekankan pentingnya kedekatan antara sarana transportasi (stasiun dan terminal) dengan kegiatan perkotaan campuran (jasa komersial/retail, residensial dan perkantoran) dengan densitas tinggi (compact). Radius pelayanan perkotaan 0,4  0,8 km dari stasiun/terminal yang memungkinkan terjadinya sirkulasi pedestrian dan sepeda. Penggunaan transportasi publik lebih diutamakan didalam kotadenganmenyediakan sarana-sarana perhentian sementara (transit).
            Menarik untuk disimak kutipan berikut: Traffic congestion has increased so much in virtually every metropolitan area that two-hour commutes now are routine. Attempts to alleviate the problem of constructing more highways almost have led to more sprawl and, eventually, more congestion.(Jim Miara, kolumnis untuk majalah Urban Land).
            Sementara itu, Transit Oriented Development (TOD) as an approach to combat traffic congestion and protect environment has caught on all across the country. The trick for real estate developers has always been identifying the hot transportation system. Today, highways are out, urban transit system are in. (The Urban Land Institute). Pertanyaan yang muncul adalah : bagaimana dengan kita? Tampaknya kita perlu mereformulasi secara fundamental kxebijakan dan strategi pembangunan transportasi yang selama ini terlalu bersifat sektoral.
            Salah satu alternatif kebijakan yang mungkin perlu dipikirkan untuk mengatasi (sebagian) kemacetan di Jakarta (walaupun kebijakan ini tetap saja masih sangat bersifat parsial, tidak komprehensif) adalah penerapan congestion charge, seperti pengalaman Kota London dalam mengatasi kemacetan di pusat kota. Otoritas setempat menetapkan charge pada London congestion zones sebesar 5 poundsterling per hari mulai pukul 7.00 pagi hingga pukul 18.30 malam dari hari Senin  Jumat pada area seluas 21 km2. Pengecualian diberikan untuk sarana transportasi umum (bus), taksi resmi (registered taxi) dan ambulans (emergency vehicles). Discount diberikan bagi mobil-mobil warga Kota London yang berlangganan. Bilamana pengendara kendaraan bermotor tidak membayar charge tersebut, maka denda yang berlaku adalah 120 poundsterling.
            Bagaimana pun, congestion charge, sebagaimana layaknya sebuah kebijakan publik yang tidak populer, mendapatkan tentangan keras dari politisi dan Londoners (khususnya para retailers, shoppers, dll) yang merasakan penurunan angka penjualan secara signifikan yang diperkirakan sebesar 100 juta poundsterling/tahun kibat penurunan jumlah orang dan mobil ke pusat Kota London. Selain itu juga bahwa masyarakat London trauma dengan keselamatan transportasi publik, pasca bom London 2005. Konsistensi otoritas Kota London dalam menghadapi berbagai kritik dan resistensi terhadap kebijakan adalah kunci dalam penerapan kebijakan ini.
Penguatan Peran Departemen Pekerjaan Umum
Untuk mengatasi kemacetan di kawasan Jabodetabek, peran Departemen Pekerjaan Umum perlu diperkuat melalui upaya-upaya jangka pendek dan jangka panjang sebagai berikut :
Untuk Jangka Pendek, maka upaya Departemen PU adalah melalui
1. perbaikan manajemen konstruksi berskala besar (jalan tol, busway, saluran/kanal, sarana komersial/perkantoran, dsb) yang disertai dengan pengawasanyang ketat dalam rangka mengurangi hambatan-hambatan sirkulasi;
2. percepatan realisasi jalan tol pada ruas-ruas strategis, termasuk ruas alternatif yang mengarah ke Bandara Sukarno-Hatta dan ke Pelabuhan Laut Tanjung Priok;
3. merealisasikan pembangunan simpang-susun di beberapa titik rawan kemacetan, dengan memperhatikan pula dampak kemacetan sementara yang bakal ditimbulkan. Untuk itu, pembangunan dilakukan secara bertahap dan terdistribusi di beberapa titik;
4. mengurangi dampak genangan pada badan jalan (misal melalui pembersihan saluran-saluran yang mampat dari sampah, peningkatan kapasitas sungai, dsb.);
5. merealisasikan secara konsisten konsep pengembangan hunian vertikal seperti Rumah Susun; dan
6. melaksanakan koordinasi intensif dengan sektor/instansi yang menangani persoalan traffic management dan penegakan hukum dalam rangka mengembalikan fungsi dan kapasitas badan jalan sebagaimana yang seharusnya (misal : melalui penertiban kaki lima, angkutan umum, pasar tumpah, dsb).
            Perencanaan terpadu dalam penyediaan prasarana transportasi multi-moda menjadi kebutuhan mutlak, dimana implementasinya lebih penting dibandingkan sekedar rencana yang komprehensif dan sophisticated. Pembagian peran (role-sharing) dan beban (load-sharing) antar-moda (misal antara jalan raya dan jalan KA khususnya untuk angkutan barang/heavy loaded vehicle) harus diciptakan, agar prasarana jalan tidak menanggung eksternalitas akibat kemacetan yang luar biasa.
            Untuk itu, Departemen PU perlu pula mendorong mitra kerjanya, khususnya Departemen Perhubungan, untuk menuntaskan Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS) dan turunan kebijakan transportasi lainnya. Tanpa Sistranas dan kebijakan transportasi terpadu yang diharapkan tersebut, pembangunan sektor transportasi terpadu di Kawasan Jabodetabek akan sulit tercapai, dan dengan demikian masalah kemacetan lalu lintas yang parah di kawasan ini tidak akan pernah pula dapat diatasi secara tuntas. Penanganan transportasi di Jakarta sebagaimana konsep yang telah dipresentasikan oleh Menteri Perhubungan di depan Wakil Presiden RI pada tanggal 30 Mei 2008 yang lalu hanyalah merupakan bagian dari solusi permanen, menyeluruh dan bersifat jangka panjang dalam mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya.
            Untuk Jangka Menengah dan Panjang, konsep megapolitan yang pernah dikemukakan oleh Gubernur Sutiyoso layak untuk dikaji kembali secara lebih serius. Dalam bingkai megapolitan ini, maka persoalan kemacetan dapat dikaitkan pula denganpersoalan banjir/genangan, karenakeduanyasaling berkaitan. Dep. PU perlu memikirkan dampak dari pembangunan jalan tol terhadap peningkatan intensitas banjir di kawasan Jabodetabek, dan sebaliknya, dampak dari banjir/genangan terhadap peningkatan kemacetan dan penurunan kualitas jalan.
            Kemacetan adalah ekses dari visi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk mewujudkan Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional bahkan internasional, karena yang terjadi saat ini adalah pemusatan kegiatan sosial-ekonomi dan politik yang terlalu berlebihan, melebihi daya dukung lingkungan dan daya tampung ruang wilayah. Wacana untuk mengalihkan (mendesentralisasikan) sebagian kegiatan sosial-ekonomi nasional ke luar Jabodetabek layak untuk dihidupkan kembali, sehingga blok-blok ekonomi tidak terpusat di kawasan ini saja
            Butir di atas disebut pengalihan beban spasial yang memiliki implikasi besar secara makro-nasional. Mulai saat ini Pemerintah bersama DPR perlu memikirkan pengurangan beban Jakarta dan sekitarnya melalui desentralisasi kegiatan (bukan hanya desentralisasi kewenangan dan sumberdaya yang saat ini terjadi). Pengalaman Perancis pasca Perang Dunia II dengan program mtropole dquilibre yang diikat dengan jaringan kereta api berkecepatan tinggi dan jaringan jalan bebas hambatan, serta pengalaman Malaysia dengan pengalihan pusat pemerintahan ke Putrajaya pada tahun 1980an akhir merupakan best practices yang layak dipelajari.
            Tidak ada solusi lain selain bahwa instrumen penataan ruang harus digunakan sebagai pendekatan perencanaan pembangunan dalam penataan kembali kawasan megapolitan Jabodetabek ke depan, termasuk dalam upaya serius mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya ini. Instrumen ini harus memiliki perspektif jangka panjang, yang memikirkan bagaimana penanganan yang diusulkan dapat bersifat terpadu dan sustainable. Lahirnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang sangat mengedepankan peran penataan ruang sebagai acuan pembangunan, harus dijadikan momentum penting oleh Departemen PU untuk lebih mengedepankan peran penataan ruang.
Rencana tata ruang kawasan metropolitan Jabodetabek yang berkualitas tinggi, namun membumi dan dapat dioperasionalisasikan, yang mampu menjawab tantangan dan permasalahan nyata di lapangan, bukan rencana tata ruang yang disusun secara business as usual, sebagaimana yang selama ini banyak dikeluhkan berbagai pihak, merupakan kata kunci yang tidak bisa ditawar lagi jika Departemen PU memang ingin memperkuat perannyadalam turut mengatasi kemacetan lalu lintas Jakarta dan sekitarnya. Dalam konteks ini, maka penataan ruang perlu memberikan perhatian yang besar, di antaranya bagi:
1. keterpaduan multi-moda yang lebih mendorong pemanfaatan transportasi publik secara luas bagi warga Jabodetabek;
2. pengembangan budaya bermukim pada rumah susun (hunian vertikal) yang lebih hemat lahan; dan
3. pembatasan pembangunan prasarana dan sarana sosial-ekonomi berskala besar yang tumbuh pesat dan mempengaruhi struktur ruang kota (misal : pusat perbelanjaan/perdagangan/plaza/shopping malls, dsb yang sesungguhnya bukan merupakan kultur masyarakat Indonesia). Fenomena urban mushroom yang membangkitkan banyak kemacetan baru, apabila diteruskan menjadi sangat berbahaya bagi keberlanjutan kota ke depan. Pertanyaan yang muncul adalah mungkinkah instrumen penataan ruang bisa menghambat laju kapitalisme?
Solusi Mengatasi Kemacetan
            Tidak ada solusi jitu dalam jangka pendek untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Pemerintah sebaiknya tidak mengeluarkan kebijakan yang hanya berfungsi sebagai parasetamol untuk mengurangi kemacetan yang sifatnya semu dan sementara. Masalah kemacetan di Jakarta dan sekitarnya bukan hanya masalah transportasi semata. Alternatif solusi mengatasi permasalahan transportasi di DKI Jakarta sebagaimana yang ditawarkan oleh Menteri Perhubungan (antara lain dengan mengembangkan transportasi multi-moda, MRT System, KA Bandara Soekarno-Hatta, pengembangan Intelligent Transport System (ITS), perubahan struktur pajak kendaraan bermotor, perbaikan manajemen transportasi, dan sebagainya) hanyalah bagian dari penanganan masalah kemacetan Jakarta yang sangat kompleks dan berdimensi banyak.
            Upaya penanganan kemacetan di Jakarta dan sekitarnya harus bersifat menyeluruh, berdimensi jangka panjang dan bersifat sustainable. Ramalan para ahli transportasi mengenai total gridlock dalam 7 tahun ke depan, tepatnya pada tahun 2014, harus menjadi warning bagi pemerintah (Pusat dan Daerah). Oleh karenanya perlu diupayakan agar langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas ditempatkan dalam prioritas Departemen PU serta memperoleh dukungan politik dan finansial yang memadai dari Pemerintah dan DPR.
            Melihat kompleksitas permasalahannya, tidak ada kata yang lebih tepat selain koordinasi yang lebih baik dan intensif di lingkungan internal Departemen PU antara Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Jenderal Cipta Karya, dan Direktorat Jenderal Sumberdaya Air dalam meninjau kembali dan merumuskan ulang Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan (Megapolitan?) Jabodetabek ini dengan antara lain menambahkan, memperkuat, dan memberikan penekanan pada beberapa aspek sebagaimana disebutkan di atas. Perencanaan tata ruang Kawasan Metropolitan Jabodetabek tidak cukup hanya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang semata.
            Di samping itu, koordinasi yang lebih baik dan intensif dengan mitra kerja strategis dalam mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya ini, seperti Departemen Perhubungan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta Pemerintah Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabek, juga sangat diperlukan.
            Pengalaman pada kawasan Jabodetabek seyogyanya menjadi pelajaran yang berharga (lessons learned) bagi kawasan metropolitan lain di tanah air, seperti Bandung, Medan, Surabaya, Makassar, dan Denpasar, yang tampaknya dalam beberapa waktu terakhir mulai bergulat dengan persoalan yang sama, yaitu KEMACETAN.

Referensi : http://www.pu.go.id/isustrategis/view/24

cara berfikir induktif

Berfikir ialah gejala jiwa yang dapat menetapkan hubungan-hubungan antara pengetahuan kita. Berfikir adalah suatu proses dialektis. Artinya, selama kita berfikir, fikiran kita mengadakan tanya jawab dengan fikiran kita, untuk dapat meletakkan hubungan-hubungan antara pengetahuan kita itu, dengan tepat. Pertanyaan itulah yang memberi arah kepada fikiran kita.
 Sekarang kita akan belajar tentang Berfikir Dalam Deduktif dan Induktif

Berpikir Deduktif

Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum. Deduksi adalah cara berpikir yang di tangkap atau di ambil dari pernyataan yang bersifat umum lalu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus.

Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.

Berpikir Induktif

Induksi adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum. Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum (filsafat ilmu.hal 48 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)

Berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif. (www.id.wikipedia.com)

Jalan induksi mengambil jalan tengah, yakni di antara jalan yang memeriksa cuma satu bukti saja dan jalan yang menghitung lebih dari satu, tetapi boleh dihitung semuanya satu persatu. Induksi mengandaikan, bahwa karena beberapa (tiada semuanya) di antara bukti yang diperiksanya itu benar, maka sekalian bukti lain yang sekawan, sekelas dengan dia benar pula.

Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif. Dimana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan rasionalisme dan penalaran induktif dengan empirisme. Secara rasional ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang tidak. Karena itu sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara, Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis.

Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya, kemudian pada tahap pengujian hipotesis proses induksi mulai memegang peranan di mana dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah suatu hipotesis di dukung fakta atau tidak. Sehingga kemudian hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak.

Maka dapat disimpulkan bahwa penalaran deduktif dan penalaran induktif diperlukan dalam proses pencarian pengetahuan yang benar.

perbedaan silogisme kategorial, silogisme hipotesis dan silogisme alternatif

1. Silogisme katagorial
Silogisme ini merupakan silogisme dimana semua proporsinya merupakan katagorial. Kemudian proporsisi yang mengandung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan menjadi premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor (premis yang termnya menjadi subjek).
Contoh :
- semua makhluk hidup pasti mati (premis mayor/premis umum)
- koala adalah hewan yang dilindungi (premis minor/premis khusus)
- koala pasti akan mati (konklusi/kesimpulan)

2. Silogisme hipotesis
Yang dimaksud dengan silogisme hipotetik itu adalah suatu argumen/pendapat yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi katagorik.
Contoh :
- Apabila lapar saya makan roti (mayor)
- Sekarang lapar (minor)
- Saya lapar makan roti (konklusi)

3. Silogisme alternatif
Silogisme alternatif adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif. Proposisi alternatif itu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya.
Contoh :
- Dimas tinggal di bogor atau Surabaya
- Dimas tinggal di Surabaya

- Jadi, dimas tidak tinggal di Bogor

Pengujian Data, Fakta Dan Autoritas

Cara menguji data
Data dan informasi yang digunakan dalam penalaran harus merupakan fakta. Oleh karena itu perlu diadakan pengujian melalui cara-cara tertentu sehingga bahan-bahan yang merupakan fakta itu siap digunakan sebagai evidensi.
Dibawah ini beberapa cara yang dapat digunakan untuk pengujian tersebut.(Observasi,Kesaksian,Autoritas)

Cara Menguji Faktor
Untuk menguji apakah data informasi yang kita peroleh itu merupakan fakta atau bukan, maka harus diadakan penilaian. Penilaian tersebut merupakan penilaian tingkat pertama untuk mendapatkan keyakitan bahwa semua bahan itu adalah fakta, sesudah itu harus mengadakan penilaian tingkat kedua yaitu dari semua fakta tersebut dapat digunakan, sehingga benar-benar meyakinkan kesimpulan yang akan diambil. 
    
      1. Konsistensi
adalah melakukan suatu kegiatan secara terus menerus dengan tekun dan benar tanpa keluar dari jalur atau batasan batasan yang telah di tentukan maupun sesuai dengan ucapan yang telah dilontarkan. konsisten salah satu sikap dari manusia yang sifatnya adalah untuk memegang teguh suatu prinsip atau pendirian dari segala hal yang telah di tentukan.

      2. Koherensi
adalah bagaimana membuat peralihan-peralihan yang jelas antar ide-ide, membuat  hubungan yang jelas antar kalimat dari sebuah paragraph dan membuat hubungan antar paragraph jelas dan mempermudah para pembaca untuk mengerti. Koherensi haruslah jelas, lengkap, susunan serta pengembangan materinya harus logis.

Cara Menguji Autoritas
Menghindari semua desas-desus atau kesaksian, baik akan membedakan pula apa yang hanya merupakan pendapat saja atau pendapat yang sungguh-sungguh didasarkan atas penelitian atau data eksperimental. Ada beberapa cara sebagai berikut :
      1. Tidak mengandung prasangka
pendapat disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli atau didasarkan pada hasil eksperimen yang dilakukannya.

      2. Pengalaman dan pendidikan autoritas
Dasar kedua menyangkut pengalaman dan pendidikan autoritas. Pendidikan yang diperoleh menjadi jaminan awal. Pendidikan yang diperoleh harus dikembangkan lebih lanjut dalam kegiatan sebagai seorang ahli. Pengalaman yang diperoleh autoritas, penelitian yang dilakukan, presentasi hasil penelitian dan pendapatnya akan memperkuat kedudukannya.

      3. Kemashuran dan prestise
Ketiga yang harus diperhatikan adalah meneliti apakah pernyataan atau pendapat yang akan dikutip sebagai autoritas hanya sekedar bersembunyi dibalik kemashuran dan prestise pribadi di bidang lain.   

      4. Koherensi dengan kemajuan
Hal keempat adalah apakah pendapat yang diberikan autoritas sejalan dengan perkembangan dan kemajuan zaman atau koheren dengan pendapat sikap terakhir dalam bidang itu.Sumber :

Evidensi

Pengertian evidensi
  
 Evidensi adalah semua fakta yang ada, yang dihubung-hubungkan untuk membuktikan adanya sesuatu. Evidensi merupakan hasil pengukuan dan pengamatan fisik yang digunakan untuk memahami suatau fenomena. Evidensi sering juga disebut bukti empiris.

     Inferensi merupakan suatu proses untuk menghasilkan informasi dari fakta yang diketahui. Inferensi adalah konklusi logis atau implikasi berdasarkan informasi yang tersedia. Dalam sistem pakar, proses inferensi dialakukan dalam suatu modul yang disebut inference engine. Ketika representasi pengetahaun pada bagian knowledge base telah lengkap, atau paling tidak telah berada pada level yang cukup akurat, maka representasi pengetahuan tersebut telah siap digunakan.

Penalaran Induksi

    Merupakan penalaran yang menyebutkan peristiwa atau keterangan atau data yang khusus untuk menuju kepada kesimpulan umum yang mencakup semua peristiwa khusus itu.
Macam-macam penalaran induksi :

- Generalisasi

    Penalaran generalisasi dimulai dengan peristiwa-peristiwa khusus untuk mengambil kesimpulan umum. Generalisasi adalah pernyataan yang berlaku umum untuk semua atau sebagian besar gejala yang diamati. Generalisasi mencakup ciri-ciri esensial, bukan rincian. Dalam pengembangan karangan, generalisasi dibuktikan dengan fakta, contoh, data statistik, dan lain-lain.

- Analogi

Analogi adalah membandingkan dua hal yang banyak persamaannya. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa jika sudah ada persamaan dalam berbagai segi, ada persamaan pula dalam bidang yang lain.
- Kausalitas


    Kausalitas merupakan perinsip sebab-akibat yang dharuri dan pasti antara segala kejadian, serta bahwa setiap kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensinya dari sesuatu atau berbagai hal lainnya yang mendahuluinya, merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan.

- Salah nalar

Salah nalar adalah kesalahan struktur atau proses formal penalaran dalam menurunkan kesimpulan sehingga kesimpulan tersebut menjadi tidak valid.

MENARIK SIMPULAN SECARA LANGSUNG

Penarikan secara langsung ditarik dari satu premis.
Contoh kalimat :
- Semua ikan bernafas melalui insang. ( premis )
- Semua yang bernafas melalui insang adalah ikan. ( simpulan )

MENARIK SIMPULAN SECARA TIDAK LANGSUNG

    Penarikan ini ditarik dari dua premis. Premis pertama adalah premis yang bersifat umum, sedangkan yang kedua adalah yang bersifat khusus. Contoh : Silogisme Kategorial. Silogisme kategorial adalah silogisme yang terjadi dari tiga proposisi, yaitu :
- Premis umum : premis mayor ( My )
- Premis khusus : premis minor ( Mn )
- Premis simpulan : premis kesimpulan ( K )

Contoh silogisme kategorial :
- My : Semua mahasiswa Universitas Gunadarma memiliki KTM.
- Mn : Aini Fatimah adalah mahasiswa Universitas Gunadarma.
- K : Aini Fatimah memiliki KTM.


Konsep Penalaran

     Penalaran adalah sebuah pemikiran untuk dapat menghasilkan suatu kesimpulan. Ketika seseorang sedang melanarkan sesuatu, maka seseorang tersebut akan mendapat sebuah pemikiran dimana pemikiran tersebut adalah suatu kesimpulan masalah yang sedang dihadapi. penalaran merupakan proses alamiah yang terdapat pada manusia karena manusia memiliki akal pikiran sehingga dapat berfiikir sebelum melakukan suatu tundakan, dalam hal ini manusia melakukan beberapa proses berfikir secara logika maupun analitis sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan.
      Penalaran sebagai sebuah kemampuan berpikir, memiliki dua ciri pokok, yakni logis dan analitis. Logis artinya bahwa proses berpikir ini dilandasi oleh logika tertentu, sedangkan analitis mengandung arti bahwa proses berpikir ini dilakukan dengan langkah-langkah teratur seperti yang dipersyaratkan oleh logika yang dipergunakannya. Melalui proses penalaran, kita dapat samapai pada kesimpulan yang berupa asumsi, hipotesis atau teori. Penalaran disini adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis berdasarkan fakta yang relevan. Kemampuan menalar adalah kemampuan untuk menarik kesimpulan yang tepat dari bukti-bukti yang ada dan menurut aturan-aturan tertentu.

Pengertian penalaran menurut para ahli : 
1. Menurut Bakry (1986:1) 
menyatakan bahwa Penalaran atau Reasoning merupakan suatu konsep yang paling umum     menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru     dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui.

2. Menurut Suriasumantri (2001:42) 
mengemukakan secara singkat bahwa penalaran adalah suatu aktivitas berpikir dalam pengambilan suatu simpulan yang berupa pengetahuan.

3.  Menurut Keraf (1985:5) 
berpendapat bahwa penalaran adalah suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bukti, fakta, petunjuk atau eviden, menuju kepada suatu kesimpulan. Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penalaran adalah suatu proses berpikir manusia untuk menghubungkan fakta-fakta atau data yang sistematik menuju suatu kesimpulan berupa pengetahuan. Dengan kata lain, penalaran merupakan sebuah proses berpikir untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis.

METODE PENALARAN
dua jenis metode penalaran yaitu penalaran deduktif dan induktif :
A.Metode Induktif
Metode berpikir induktif adalah suatu penalaran yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasi pengamatan empiric dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini panalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif.
Contoh : 
# Ani bersekolah dengan memakai seragam merah puti karena masih SD,Anton Bersekolah dengan memaki seragam merah putih karena dia masih SD.
KESIMPULAN : Semua siswa yang masih SD memaki seragam merah putih saat bersekolah

B.Metode Deduktif
Metode berpikir deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.

PENALARAN INDUKTIF DAN INDUKTIF
penalaran induktif adalah penalaran yang mengambil contoh-contoh khusus yang khas untuk kemudian diambil kesimpulan yang lebih umum. penalaran ini memudahkan untuk memetakan suatu masalah sehingga dapat dipakai dalam masalah lain yang serupa. catatan bagaimana penalaran induktif ini bekerja adalah, meski premis-premis yang diangkat benar dan cara penarikan kesimpulannya sah, kesimpulannya belum tentu benar. tapi kesimpulan tersebut mempunyai peluang untuk benar.
penalaran induktif membutuhkan banyak sampel untuk mempertinggi tingkat ketelitian premis yang diangkat. untuk itu penalaran induktif erat dengan pengumpulan data dan statistic.
penalaran induktif ini mengangkat 1 kasus untuk ditarik dalam kesimpulan umumnya. contohnya kurang banyak. dan meski penalaran induktif sudah kuat dengan contoh yang banyak, kesimpulan induktif yang dihasilkan pun masih bisa dipertanyakan keabsahannya. sementara lebih jauh, penulis blog ingin tahu apakah kesimpulan tersebut berlaku jika diaplikasikan kepada pihak lain, dalam hal ini kepada ulil.
berbeda dengan penalaran Deduktif, penalaran deduktif adalah menarik kesimpulan khusus dari premis yang lebih umum. jika premis benar dan cara penarikan kesimpulannya sah, maka dapat dipastikan hasil kesimpulannya benar. jika penalaran induktif erat kaitannya dengan statistika, maka penalaran deduktif erat dengan matematika khususnya matematika logika dan teori himpunan dan bilangan. contoh penalaran deduktif adalah :
Contoh
- semua hewan punya mata
- anjing termasuk hewan
:. anjing punya mata

KESALAHAN PENALARAN
Salah nalar dapat  terjadi di dalam proses berpikir utk mengambil keputusan. Hal ini terjadi karena ada kesalahan pada cara penarikan kesimpulan. Salah nalar lebih dari kesalahan karena gagasan, struktur kalimat, dan karena dorongan emosi.
Salah nalar ada dua macam:
1. Salah nalar induktif, berupa
(1) kesalahan karena generalisasi yang terlalu luas
(2) kesalahan penilaian hubungan sebab-akibaT
(3) kesalahan analogi

2. Kesalahan deduktif dapat disebabkan karena :
(1) kesalahan karena premis mayor tidak dibatasi
(2) kesalahan karena adanya term keempat
(3) kesalahan karena kesimpulan terlalu luas/tidak dibatasi
(4) kesalahan karena adanya 2 premis negatif

C. Konsep dan simbol dalam penalaran
Penalaran juga merupakan aktifitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan akan berupa argumen.
Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian pengertian.

D. Ciri- Ciri Penalaran :
1. dilakukan dengan sadar
2. didasarkan atas sesuatu yang sudah diketahui
3. Sistematis
4. terarah, bertujuan
5. menghasilkan kesimpulan berupa pengetahuan, keputusan atau sikap yang baru
6. sadar tujuan
7. premis berupa pengalaman atau pengetahuan, bahkan teori yang telah diperoleh
8. pola pemikiran tertentu